Apakah anda sebagai orang minang pernah bertanya, mengapa Sumatera Barat sangat tertinggal dari daerah tetangga, sebut saja Sumatera Utara, Riau & Sumatera Selatan. Belum lagi dengan kota kota besar di Pulau Jawa. Padahal dahulunya Sumbar adalah Provinsi yang paling cepat kemajuan dan pembagunannya.
Mungkin Artikel dari Lentera Timur ini bisa menjawabnya. Artikel ini sangat menarik untuk di baca, semoga artikel ini bisa menjadi pelecut bagi Rakyat Minangkabau untuk bangkit dari keterpurukannya.
Judul : Kala Orang Minang Berganti Nama
Sumber : http://www.lenteratimur.com/kala-orang-minang-berganti-nama/
Langit di Bukik Limau Manih mulai menghitam. Awan-awan
menggumpal. Satu-satu rintik air jatuh ke bumi. Sepanjang jalan menuju
Universitas Andalas, Padang, tepatnya Fakultas Ilmu Budaya, guruh tak
henti menggelegar dari langit. Di atas kendaraan roda dua yang mendaki jalan beton dengan
kecepatan 20 sampai 40 kilometer per jam itu, teringat saya pada cerita umi (nenek) soal Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Biasanya, kejadian perlawanan itu disingkat menjadi PRRI. Tapi di Sumatera Barat, orang menggunakan istilah ‘peri-peri’ untuk hal yang sama.
Umi bercerita bahwa pada suatu masa para tentara dari Jawa datang berkapal-kapal ke Pelabuhan Taluak Bayua (Teluk Bayur). Dari obrolan di lapau (kedai), menurut carito induak-induak (cerita ibu-ibu), tentara-tentara itu menculik dan membunuh satu demi satu datuak-datuak, cerdik-pandai, dan angku kadi (para guru mengaji), serta masyarakat Minang lainnya. Mereka mengangkat badia
(bedil, pistol) untuk melawan masyarakat Minang. Tak tahu pasti apa
tujuan mereka datang ke Padang. Yang jelas, mereka menyebar ke beberapa
daerah di darek (kawasan di Bukit Barisan).
Setelah melewati perjalanan dengan hujan yang kian menderas, tanpa terasa sampai juga saya di Fakultas Ilmu Budaya.
“Itu profesor sudah menunggu,” ujar seorang Bapak, barangkali dia dosen, sembari menyuruh saya masuk ke salah satu ruangan.
Dari kejauhan, tampak seorang lelaki berkacamata dan berpakaian
kemeja lengan panjang berwarna putih. Dia sedang duduk dengan seorang
mahasiswi. Ya, dialah Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan, guru besar ilmu
sejarah.
Gusti Asnan
lahir di Lubuk Sikaping, Sumatera Barat, pada 1 Agustus 1962. Dia orang
yang peduli pada rentetan peristiwa masa silam di Sumatera Barat. Salah
satu yang luput dari ingatan banyak orang adalah masa dimana
orang-orang Minang mengganti namanya dengan nama-nama yang berasal dari
luar, umumnya Jawa. Konon, nama-nama itu diberikan oleh para orangtua
setelah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia tumbang di Tanah
Minang. Perang Pemerintahan Revolusioner itu sendiri, bersama Sulawesi
dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), berlangsung selama sekitar
tiga tahun, yakni 1958-1961.
Berikut adalah cuplikan wawancara Arif Budiman dari LenteraTimur.com dengan peraih gelar doktor dari Fachbereich fuer Sozialwisschenschaften Universiteit Bremen, Jerman.
Dalam suatu diskusi, Bapak pernah menyebutkan bahwa ada
periode dimana orang-orang Minang mengganti nama-namanya yang khas
dengan nama dari luar. Bagaimana itu terjadi, Pak?
Itu bagian dari penciptaan atau pemikiran identitas baru bagi orang
Minang ketika mereka dihadapkan pada sebuah situasi dimana
keminangkabauannya, dengan berbagai ciri dan identitas selama ini,
dilumat oleh tentara pusat (Jakarta). Mereka dianggap sebagai “orang
kalah”. Jadi, setelah kalah, mereka ingin mencari identitas baru untuk
lebih survive (bertahan hidup-red). Kalau tidak dicari
identitas baru, ya tidak berlangsung kehidupan. Mereka akan tetap dicari
oleh tentara pusat, untuk dibunuh.
Bagaimana caranya orang Minang mempertahankan hidup kala itu?
Ya salah satu caranya dengan menjawa-jawakan dirinya. Mencoba mengadopsi
apa yang diinginkan oleh pusat. Karena pusat memang ingin
mensentralisasikan Indonesia ini, bahkan Minangkabau, sesuai keinginan
mereka. Nama-nama itu umumnya lekat pasca-PRRI. Termasuk gaya, (dimana)
orang Minang (menjadi) seperti Jawa. Tapi, nama Jawa yang mereka gunakan
ada artinya, ada kreasi mereka ciptakan. Contoh, kemarin saya makan
nasi Padang di Jakarta. Nama yang berdagang itu Parmanto. Ternyata
artinya ‘Parikmalintang’ dan ‘Toboh’. Ayahnya dari Parikmalintang,
ibunya dari Toboh. Jadilah Parmanto. Kedua daerah itu dari Piaman
(Pariaman). Kedengarannya Jawa, tapi bukan Jawa. Ada Surianto, yang
berasal dari ‘Surian’ (nama daerah di kabupaten Pesisir Selatan-red) dan
Koto (salah satu suku di Minang-red).
Jadi nama-nama itu juga pengkodean ya, Pak?
Ya. Menariknya, orang Minang kan orang kreatif. Memang mereka mengadopsi
nama Jawa, tapi tidak 100 persen nama Jawa. Ada kreasi di dalamnya. Ada
penciptaan. Soeharto, Soekarno, kan nama Jawa. Memang namanya mirip
seperti itu, tapi ada kreasi di dalamnya. Contohnya yang saya bilang
tadi.
Lantas, jika mengambil contoh, bagaimana dengan nama Gubernur Sumatera Barat sekarang, Irwan Prayitno?
Itu yang tidak kreatif mungkin. Coba lihat, beliau lahirnya dimana? Apa
betul ia lahir di Minang. Jika iya dari Minang, mungkin saja orang
tuanya mengadopsi nama Jawa bulat-bulat. Sama dengan teman saya, Edi
Suharto. Dia orang Lubuk Sikapiang tulen, tapi namanya nama Jawa, Dan
sampai sekarang nama Jawa itu turun temurun ke anaknnya.
Apakah strategi nama itu untuk menutupi kekalahan mereka?
Itu memang strategi untuk tetap bertahan. Kalau mereka tetap
mempertahankan identitas lamanya yang khas Minang, seperti mereka yang
bernama Burhanuddin, Syarifudin, Baharuddin, Syamsul Bahri… Dari nama
itu nampak sekali Minang yang kalah tadi. Nah, kalau mereka masuk
sekolah-sekolah yang dikuasai pusat, susah dan sangat diseleksi.
Itu umumnya terjadi kapan, Pak?
Ya setelah PRRI
langsung terjadi. Tahun 1958. Terutama dimasa-masa saya lahir tahun
1960 ke atas, dan seterusnya. Sejak itu nama orang Minang aneh-aneh.
Nama bapak sendiri Gusti Asnan. Apa itu juga korban dari kekalahan PRRI?
Iya. Mana pula ada nama orang Minang itu ‘Gusti’. Kata orang tua saya,
nama ‘Gusti’ itu singkatan dari ‘Gus’ (yang artinya) lahir dibulan
‘Agustus’, ‘ti’ (dari) bidan tempat saya lahir (yang) namanya ‘Eti’.
Sedangkan ‘Asnan’ itu dari nama ibu saya, Asyiah jadi ‘As’, dan bapak
saya ‘Syahminan’ jadi ‘nan’. Digabung jadi ‘Gusti Asnan’. Jelas tidak
ada hubungannya dengan Gusti yang di Bali atau Kalimantan.
Berarti kalau tidak mengubah nama, artinya tidak diterima di pusat?
Oh, bukan. Tapi itu memang bagian dari kecerdikan mereka untuk punya akses ke pusat, dan hidup di dunia baru.
Kenapa begitu?
Perlu diketahui, pasca-PRRI tadi, Minangkabau ini betul-betul dikuasai
oleh Jawa. Tidak ada yang tidak dikuasai oleh Jawa sekitar tahun 1958
itu. Coba baca buku saya “Memikir Ulang Regionalisme di Sumatera Barat tahun 1950”. Hanya tentara dan Jawa yang berkuasa di Minang ini. Tidak ada celah untuk mengeksiskan Minangkabau itu kembali.
Di tingkat nagari pun yang berkuasa militer, perpanjangan
tangan dari mereka (pusat). Yang berkuasa saat itu Penguasa Perang
Daerah (Peperda) itu tentara. Walaupun gubernurnya Harun Rang Kayo Basa,
tapi yang berkuasa tetap militer. Tentara semena-semena sekali saat
itu.
Jadi karakter nama saat itu seperti apa?
Nama itu dibikin aneh-aneh. Disingkat-singkat. Dan itu punya arti. Nama
itu dibuat oleh orang tuanya. Pada masa itu nama-nama seperti itu yang
disukai dan bisa diterima. Sehingga kesan kita (Minangkabau) sebagai
orang-orang PRRI itu berkurang. Agar terputus juga dengan masa lampau.
Efeknya seteleh ganti nama itu?
Lahirnya orang-orang baru dengan spirit baru. Terutama bagi orang-orang
tua, yang saya lihat untuk menghilangkan kesan agar mereka tidak begitu
Minang lagi. Memperbarui diri, tapi tidak memutuskan.
Selain itu, segala urusan di Wali Nagari bisa mudah. Contoh saja
ketika ibu saya melaporkan kelahiran saya ke Wali Nagari Pauh-Lubuak
Sikapiang, itu gampang. Wali Nagarinya komunis. Nah, kalau muncul
nama-nama baru itu, senang sekali hatinya. Mudah mendapatkan tanda
tangan untuk akta kelahiran, pun melaporkan kematian. Tapi coba namanya
Alamsyah, Burhanuddin, Charil, Anwar, dan lain sebagainya, Wali
Nagarinya sinis.
Dan menurut literatur yang saya baca, bagi mereka yang merantau ke
Jawa, mereka lebih mudah diterima. Baik itu untuk masuk polisi, AKABRI
(Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), dan sebagainya.
Apakah pergantian nama ini juga memiliki pengaruh terhadap
kemunculan tokoh-tokoh baru dari alim ulama, cerdik pandai, di
Minangkabau?
Saya pikir tidak jadi masalah. Contoh saja ada nama alim ulama Buya Boy
Lestari Datuak Palindih. Itu kan tidak nama buya sekali. Ada lagi Jhon
Kennedy Datuak Tumangguang. Kenapa seperti itu, karena pada masa itu,
ada strategi untuk bertahan dan menyesuaikan dengan kondisi yang baru.
Untuk saat ini, efek nama Jawa itu apa masih melekat untuk generasi muda Minang?
Relatif. Nama-nama sekarang lebih berkesan Islami, seperti Arif, Habibi,
Nuralifah. Balik lagi ke identitas baru, karena kita pada sibuk dengan
ABS-SBK (Adat Basadi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) lagi. Nama-nama
kejawaan tidak muncul lagi.
Apakah pergantian nama tadi disadari oleh generasi muda Minang itu sendiri?
Disadari baru akhir tahun 1980-an. Perubahan nama itu tadi jelas, disadari di bawah alam sadar mereka. Hanya strategi survival
yang saya lihat. Jadi tidak ada gerakan yang disengaja untuk mengganti
nama itu, cuma spontan saja. Baru tahun 80-an akhir ada ulasan-ulasan
kajian seperti ini ditulis.
Awal tahun 2000 menjadi proyek besar (penelitian) di Singapura
mengenai penamaan ini. Singapura mensponsori (penelitian) bagaimana
penamaan dan gelar-gelar orang-orang di Asia, terutama di Asia Tenggara
khususnya. Masuk di antaranya Minangkabau.
Jadi nama Minangkabau itu karakter aslinya seperti apa pak?
Minang adalah perubahan. Ada di ensiklopedia Nederlandsch-Indie dituliskan
nama Minang yang sebenar itu adalah dari nama-nama alam dan benda yang
ada di dalamnya, seperti Pauh, Manggih, Karuntuang. Itu yang pernah saya
lacak. Setelah itu baru masuk nama-nama kehindu-hinduan,
kebudha-budhaan, terus baru nama-nama keislaman. Setelah itu baru muncul
nama-nama kejawa-jawaan dan singkatan atau pengkodean, dan baru dua
dekade terakhir muncul kembali nama-nama Islam. Nama-nama Islam yang
indah-indah itu seperti Rahman Hakim, Muhammad Amir, Amizan.
Bagaimana dengan bahasanya, Pak? Apa juga menjadi bahasa Jawa?
Lewat bahasa tidak begitu massif. Saat itu juga orang Minang mengalami
eksodus besar-besaran. Mereka meninggalkan Minang untuk merantau. Jadi
(tindakan) merantau itu paling banyak pasca-PRRI tadi.
Saat itu bagaimana kehidupan orang Minang sendiri?
Bayangkan saja suasana di kampung-kampung. Lewat di pos militer saja orang Minang sangat kuncun (takut
sekali-red). Untuk mengatasi itu, ya seperti tadi, mengganti nama.
Karena memang pada masa itu daerah Minangkabau dibanjiri oleh
orang-orang Jawa.
Suasana kota kala itu bagaimana Pak?
Saat itu orang-orang yang ada di kampung lari ke kota. Penumpasan PRRI
itu dipusatkan di kampung-kampung bukan di kota. Kota sangat mudah
ditaklukkan kala itu. Yang paling lama bertahan adalah daerah Pasaman.
Itu daerah yang paling lama untuk ditaklukkan. Pasca-PRRI itu, PKI
(Partai Komunis Indonesia-red) sangat kuat sekali di Minangkabau,
terutama di daerah-daerah. Sebab orang sudah banyak lari ke kota.
Dua tempat eksodus kala itu, pertama, dari kampung ke kota; kedua, lari keluar meninggalkan Sumatera Barat dengan tujuan Jawa.
Berapa banyak yang eksodus keluar Sumatera Barat?
Sampai ratusan ribu orang. Dan ini pertama sepanjang sejarah
Minangkabau. Di tahun 1973 dan 1974, penduduk Minangkabau di Jakarta
sama jumlahnya dengan penduduk Kota Padang. Secara persentase, orang
Minang paling banyak di Jakarta saat itu. Dalam buku Mochtar Naim, ada
diceritakan jumlah masyarakat yang eksodus itu.
Jadi kalau takuik di ujuang badia, pai kapangka badia(kalau takluk di ujung pistol, pergi ke pangkal pistol-red).
Tadi dikatakan PKI sangat berkuasa sekali di daerah-daerah
pasca-PRRI. Apakah itu berpengaruh terhadap agama masyarakat Minang yang
dikenal sangat kuat Islamnya?
Masalah pindah agama saya tidak menemukan. Tapi saat itu mulai masuk
orang Kristen ke Minangkabau. Mereka masuk lewat program transmigrasi
dari Jawa. Terjadi sekitar tahun 1950-an di Pasaman, walaupun sudah
diajukan syarat oleh cerdik pandai Minang kalau yang mau bertransmigrasi
ke Minang harus orang Islam. Tapi mana mungkin orang bisa mendata
mereka Islam atau Kristen. Dua atau tiga orang pasti ada orang Kristen
di situ.
Nah, tahun 1956 masalah transmigrasi ini mulai ribut, sampai tahun
1960. Kita tidak bisa komplain dengan banyaknya transmigran masuk.
Bagaimana bisa komplain, bupati Pasaman ketika itu orang komunis,
namanya Joan Rifa’i. Dia komunis tulen, sampai tahun 1965 baru lengser.
Saat itu diizinkan membangun gereja di Panti, Pasaman Barat,
Bukittinggi.
Bagaimana reaksi orang Minang Pak?
Tidak bisa berbuat apa-apa, karena sudah kalah. Yang berkuasa adalah PKI
dan Jawa tadi. Bagi mereka tidak masalah. Jadi kalau orang Minang masuk
Kristen tidak banyak, tapi kalau orang Minang jadi Komunis sangat
banyak sekali waktu itu. Bahkan tokoh-tokoh besar komunis itu dari
Minang.
Tahun 1973-1974 terjadi eksodus besar-besaran penduduk Minang
ke Jakarta. Nah dengan banyaknya eksodus kala itu, apakah berpengaruh
sampai hari ini dengan kondisi Sumatera Barat yang jauh “tertinggal”
dengan tetangga, seperti Riau atau Jambi?
Memang sangat berpengaruh sekali dengan sumber daya manusia kita.
Peristiwa PRRI menghabisi orang-orang Minang yang hebat-hebat, baik alim
ulama maupun cerdik-pandainya. Mereka memang ditumpas supaya tidak
muncul ke panggung sejarah. Peristiwa itu dimulai tahun 1950-an tadi.
Mereka-mereka itu, sebut saja, Muhammad Sjafei, Natsir, M.Rasyid, Datuak
Palimo Kayo, dan masih ada puluhan atau ratusanlah.
Sudah itu berkuasa orang PKI dan Jakarta. Kala itu masih ada orang
Minang, tapi pro dengan PKI atau “kiri”. Tahun 1965 (terjadi) kudeta (di
pemerintah pusat). Orang-orang pro “kiri” tadi dihabisi pula sama Orde
Baru. Berarti tidak berapa (banyak-red) orang Minang yang tinggal. Nah,
yang tinggal sedikit itu sudah eksodus keluar pula. Apalagi yang tinggal
di Minang ini!
SDM kita itu “memble” sekali (saat mengatakan ini, Gusti Asnan sampai
memukul meja-red). Jadi yang tinggal itu memang sisa-sisa saja tahun
1965 itu. Jadi wajar dampak itu terjadi sekarang. Kita itu memang habis!
Berbeda dengan Riau. Pasca lepas dari Minangkabau atau Sumatera Tengah,
dia bangkit pelan-pelan. Apalagi dengan adanya otonomi daerah, dia
punya duit membangun daerahnya. Sementara kita, orang-orang hebat itu
pergi keluar.
Dengan kondisi sekarang, dimana ada orang Minang yang jadi
menteri di kabinet, itu berpengaruh tidak dalam mendukung kemajuan
Sumatera Barat?
Persentasinya lebih sedikit jika dibandingkan awal-awal merdeka dulu.
Lihat awal kemerdekaan, (dari) enam tokoh nasional, empatnya dari
Minang. Dari empat tokoh pembentuk negeri, tiga dari Minang, hanya satu
dari Jawa; Soekarno. (Dari) Minang (adalah) Hatta, Syahrir, Tan Malaka.
Sekarang tak seberapa orang Minang yang duduk di kabinet. Dan perlu
diingat pula apa pos yang mereka duduki di kabinet dan dimana dia
dibesarkan. Apakah memang di Minangkabau? Paling cuma Gamawan Fauzi.
Mereka yang besar di Minang ditempa dengan adat, Islam, dan budaya
tradisi Minang, jadi ada ikatan dengan tanah kelahirannya.
Jadi menurut Bapak, kapan Minangkabau itu berjaya?
Sampai PRRI, Minangkabau itu jaya. Bahkan ada peneliti, Hanna Awlad dari
Cornell University, tahun 1957, yang menulis bahwa orang Minang itu
orang yang paling intelektual di Indonesia. The most intellectual people in the Indonesian. Sekarang jika dibandingkan dengan daerah lain, kita mundur.
Sumber ke-2 : Artikel yang di tulis oleh Hanvitra di R@ntau-Net | |
Hanvitra, jurnalis
Pendahuluan
Sebelumnya, maafkan, saya hendak memanggil daerah yang kita
panggil sebagai Sumatra Barat dengan nama Minangkabau. Kenapa saya
panggil demikian ? Karena istilah Sumatra Barat sebenarnya daerah
administratif (propinsi) yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk
membagi daerah-daerah sesuai dengan nama etnis yang mendiaminya.
Pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Orde Lama menamakan daerah yang
kita sebut Sumatra Barat sekarang dengan nama propinsi Sumatra Timur
yang beribukota di Padang. Daerah Sumatra Timur jauh lebih luas daripada
Sumatra Barat, yang meliputi Riau dan Sumatra Barat sekarang. Riau
termasuk bagian dari Sumatra Tmur.
Lalu kenapa
pemerintah Orde Baru (Suharto) menetapkan propinsi Sumatra Barat
seperti sekarang ini ? Ini berkaitan dengan Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI). Pada tahun 1958-1962. Sejumlah panglima
divisi Banteng dan staf-stafnya yang meliputi Kolonel Ahmad Husein,
Kolonel Tapanuli, Kolonel Simbolon, bersama sejumlah politisi seperti M.
Natsir, Sumitro Djayahadikusumo, M. Hatta, dan membentuk Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berkedudukan di
Bukittinggi. Maksud dari PRRI ini adalah untuk memperingatkan Yang Mulia
Presiden Soekarno yang sudah bertindak sewenang-wenang. Kecemburuan
pusat-daerah turut pula memperkeruh suasana. Kondisi pada tahun 1950-an
mirip dengan kondisi sekarang. Soekarno membangun Jakarta sebagai pusat
pemerintahan dan membangun proyek-proyek mercu suar seperti Monumen
Nasional (Monas), Masjid Istiqlal, dan Stadion Gelora Senayan dan
sejumlah patung. Sementara daerah dibiarkan miskin dan melarat.
Soekarno mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup.
Hal ini tidak disukai oleh panglima-panglima militer yang ada di daerah.
Apalagi Soekarno menggunakan sentimen etnis dan ideologi. Soekarno
terlalu dekat dengan PKI yang tidak disukai oleh kelompok Islam dan
nasionalis. Panglima-panglima militer di daerah mulai mengadakan
gerakan. Sejumlah politisi di Jakarta juga sudah mulai bergerak. Wakil
presiden Muhammad Hatta, tokoh politisi dari Partai Sosialis Indonesia
(PSI), Sumitro Djojohadikusumo, dan tokoh Masyumi Muhammad Natsir turut
dalam rapat-rapat rahasia bersama tokoh PRRI dan tokoh Persatuan Rakyat
Semesta (Permesta), Vence Sumual.
Soekarno tak
suka ekonomi. Ia lebih suka membangun ideologi revolusioner. Oleh
karena itu, pembangunan ekonomi pada masa itu mandek. Indonesia memang
kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara dan Asia (setelah Cina). AS
tak suka pada Soekarno.
Soekarno menganggap
PRRI/Permesta sebagai kenakalan anak-anak. Soekarno memang menganggap
dirinya sebagai Bapak sedangkan para politisi dan perwira militer
sebagai anak-anaknya. Soekarno adalah orang yang pandai bermain peran.
Ia pandai menempatkan diri. Ketika menghadapi kelompok Islam ia pandai
bermain peran sebagai muslim yang baik.
Upaya Diplomasi
Pada awalnya Soekarno tidak ingin menghadapi PRRI dengan
kekerasan. Soekarno mengutus Hasjim Ning, pengusaha, saudara Bung Hatta,
untuk menghadap Kolonel Ahmad Husein di Padang. Kolonel Ahmad Husein
mengajukan sejumlah tuntutan antara lain: retool kabinet, bung Hatta
didudukkan kembali Wakil Presiden, dan keadilan pusat-daerah. Semua
tuntutan ini ditolak oleh Soekarno. Ia menganggap Ahmad Husein sebagai
Anak Bandel dan harus segera diberi pelajaran. Kolonel Ahmad Husein
adalah bukan orang sembarangan. Ia adalah panglima Divisi
Banteng/Sumatra Timur yang berjasa mengusir tentara NICA dari Sumatra
Timur. Dan tentara Divisi Banteng dikenal tangguh dalam berperang.
Mereka berpengalaman menghadapi Belanda. Oleh karena itu Soekarno tidak
boleh main-main. Ia harus menyiapkan tentara terbaik untuk menyerbu
Padang.
Presiden Soekarno mengutus Jenderal
Ahmad Yani untuk menyiapkan operasi tempur yang diberi nama Operasi 17
Agustus. Jenderal Ahmad Yani menyiapkan sejumlah batalyon terutama
dari Kodam IV Diponegoro dan Kodam II Siliwangi. Letjen Soeharto
ditetapkan sebagai pelaksana lapangan. Serbuan pertama dilaksanakan
dengan operasi pendarat Amphibi di pantai Padang. Sekitar lima jam,
kapal-kapal ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) dengan menghujani
pantai Padang yang dipertahankan mati-matian oleh pasukan PRRI. Jelas
kekuatan ALRI bukanlah tandingan pasukan PRRI. Kekuatan ALRI adalah
yang terkuat di Asia.
Selanjutnya diteruskan
dengan operasi pendaratan pasukan Amphibi di pantai Padang berikut
tank-tank dan artileri. Lalu dilanjutkan oleh penerjunan pasukan
parasut (paratrooper) di kota Padang dan Bukittingi. Serbuah ini
menimbulkan banyak korban jiwa baik tentara Jawa maupun tentara PRRI.
Pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) membomi
titik-titik penting pasukan PRRI. Pasukan Jawa akhirnya berhasil
menguasai Padang. Serbuan ofensif lalu diteruskan hingga ke lembah Anai.
Serbuan ini ditahan oleh pasukan PRRI dalam suatu pertempuran yang
paling berdarah dalam sejarah PRRI.
Pasukan
PRRI mundur ke hutan-hutan. Pasukan Soekarno mengadakan gerilya di
daerah perkampungan dan perkotaan. Dalam proses itu, ratusan dan ribuan
orang diciduk. Sebagian mati dalam tahanan.
Pasukan KODAM Siliwangi dikenal berperilaku lebih baik daripada pasukan
dari KODAM Diponegoro. Selain berasal dari etnis Sunda, pasukan KODAM
Siliwangi berperilaku lebih halus dan agamis. Sedangkan pasukan KODAM IV
Diponegoro berperilaku kasar. Mereka menganggap diri sebagai pemenang
perang dan mengulangi kisah sukses ekspedisi Pamalayu untuk menaklukkan
Sumatra.
Atas bujuk rayu sejumlah tokoh,
kolonel Ahmad Husein menyerahkan diri kepada Gubernur Bagindo Aziz Chan
dan Letjen Supeno di sebuah lapangan di Solok. Ahmad Husein menyerah
bukan karena kalah tapi demi keutuhan republik. Pasukan PRRI masih
banyak tersebar di hutan-hutan. Ahmad Husein ditangkap dan dibawa
menghadap Presiden Soekarno. Gimana masih mau melawan Bapak? tanya
Soekarno secara retoris.
Total dalam perang
ini ada 30.000 korban tewas di kalangan masyarakat Minang. Kebanyakan
sukarelawan PRRI. Hal ini belum lagi dilanjutkan dengan korban
penyiksaan tahanan-tahanan PRRI oleh tentara Soekarno. Laporan ini
tidak akan pernah diketahui publik. Hanya sedikit sarjana yang
mengetahui dengan pasti kejadian ini antara lain Geoger Mc. Turnan
Kahin, ilmuwan politik dari AS dan Nazaruddin Sjamsuddin yang menulis
disertasi mengenai PRRI di Australian National University (ANU).
Dampak PRRI bagi etnik Minangkabau.
PRRI adalah sebuah titik balik bagi etnik Minangkabau.
Semenjak itu, etnik Minangkabau mengalami kemunduran total dalam
berbagai bidang. Dalam pentas politik, kita tidak mendengar lagi etnis
Minang. Padahal etnis Minangkabau punya saham yang besar dalam
kemerdekaan Indonesia. Tan Malaka, M. Hatta, Sutan Syahrir, Abdul Rivai,
Bahder Djohan, Abdul Muis, Rasuna Said, Rahmah El-Yunusiah, Idrus, dan
Marah Rusli.
Tapi tokoh-tokoh ini tak pernah ada dalam buku-buku sejarah terbitan Orde Baru.
Seluruh buku-buku sejarah yang ada di SD, SMP, dan SMU
sudah direkayasa sedemikian rupa sehingga meminggirkan peranan
tokoh-tokoh etnik Minangkabau dalam sejarah. Justru peranan Soeharto dan
TNI-AD yang begitu ditonjolkan. Selama ini kita dibohongi dan ditipu
oleh pemerintah pusat.
Etnis Minangkabau
mengalami krisis identitas yang parah. Kemiskinan dan kebodohan meraja
rela. Sebagian etnis Minangkabau memang sukses di rantau namun sebagian
lagi terlunta-lunta di rantau.
Generasi muda
Minangkabau tidak lagi mengenal dan memahami budaya asli negerinya. Adat
kembali ditinggalkan. Padahal budaya Minangkabau mempunyai nilai-nilai
yang unik yang tak ada duanya dengan budaya-budaya lain yang ada di
republik Indonesia.
Dari segi pembangunan,
kondisi Sumatra Barat jauh tertinggal dibanding propinsi-propinsi lain
di pulau Jawa. Nagari-nagari di Sumatra Barat mengalami krisis yang luar
biasa baik secara ekonomi dan sumber daya manusia. Kalau dibiarkan
begini terus maka di kemudian hari Minangkabau cuma cerita yang indah
buat anak cucu.
Sumatra Barat mengalami brain
drain alias pemiskinan intelektual yang luar biasa. Sumber daya
manusia dari etnik Minangkabau yang terbaik semuanya ada di Pulau Jawa.
Yang tertinggal di kampung hanya lapis 2 dan lapis 3. Bahkan sebagian
lapis 2 dan 3 sudah hijrah.
Pembangunan di
Sumatra Barat mandek. Perekonomian digerakkan oleh sektor konsumsi
ketimbang produksi. Dengan jumlah sekolah yang banyak rusak. Sudah
sepatutnya kita memikirkan akan jadi Sumatra Barat esok hari.
Kenapa saya menulis ini ?
Artikel ini adalah hasil pemikiran dan renungan saya
terhadap berbagai kondisi di Sumatra Barat. Saya dan teman-teman di
Ikatan Mahasiswa Minang (IMAMI) UI dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
telah sering berdiskusi mengenai hal-hal seperti ini. Hanya saja hasil
diskusi kami bersifat terbatas.
Saya menulis
ini karena kegelisahan saya melihat kondisi kampung halaman yang semakin
lama semakin tertinggal. Saya sempat bertemu dengan seorang guru
sekolah di kelurahan Angkat Candung dan kami berdiskusi mengenai
sekolah-sekolah di Koto Tuo IV Koto. Dia bilang sekolah-sekolah di Koto
Tuo IV Kota termasuk yang paling rendah mutunya di seluruh kabupaten
Agam. Padahal masyarakatnya di perantauan dikenal kaya-kaya.
Sebagai urang awak yang lahir dan besar di perantauan,
saya ingin berbuat sesuatu untuk kampung halaman saya. Walaupun saya
belum punya uang, setidak bisa memberikan ilmu dan pemikiran untuk
kampung halaman.
Hanvitra, S.IP <<sarjana ilmu politik>>
Read more...